MENGELOLA BIMBINGAN DAN
KONSELING DI SEKOLAH
Esther
Tan
Semenjak Kementrian
Pendidikan secara resmi meluncurkan Program Pastoral Care and Career Guidance (PCCG)
di tahun 1980an (Kementrian Pendidikan, 1987; 1988; 1989) maka mengembangkan
dan mengelola program bimbingan dan konseling di sekolah-sekolah telah menjadi
persoalan yang sangat dibicarakan oleh para pengajar dan para penyelenggara
pendidikan.Bab ini membahas proses memperkenalkan perubahan untuk lebih
meningkatkan program bimbingan dan konseling di sekolah-sekolah, peran leadership
(kepemimpinan) dalam manajemen perubahan, langkah-langkah yang termasuk dalam
membangun sebuah tim pembimbing yang efektif dan evaluasi banyak program
bimbingan dan konseling. Persoalan-persoalan ini menjadi minat paling besar
para pengajar yang terlibat dalam me-manage bimbingan dan konseling di
sekolah, khususnya mereka yang berada dalam posisi-posisi memimpin.
MENGEMBANGKAN
SEBUAH PROGRAM BIMBINGAN DAN KONSELING YANG KOMPREHENSIF
Sampai sekarang,
perkembangan bimbingan dan konseling di Singapura sudah memiliki sebuah
pengalaman 14 tahun, dan kebanyakan sekolah memiliki sebuah program bimbingan
dan konseling yang diberlakukan.Tantangan yang dihadapi oleh hampir semua
penyelenggara sekolah atau para Kepala program Pastoral Care, bukanlah tentang hal
harus memulai program bimbingan dan konseling dari nol, tetapi lebih pada
meninjau dan meningkatkan program yang sudah ada untuk menjadi lebih
komprehensif dan efektif. Gysbers menguraikan tiga langkah yang dibutuhkan
untuk mewujudkan perubahan ini: (a) mengembangkan suatu iklim perubahan; (b)
meninjau (mereview) program yang sudah ada; dan (c) merancang program yang
sudah direvisi (Gysbers & Henderson, 2000).
Langkah 1 –Menanamkan
Iklim Perubahan
Perubahan
berhasil ditemukan pada suatu lingkungan yang positif dan bersifat mendukung.Walaupun
kepala sekolah atau Kepala program Bimbingan bisa memimpin dalam menetapkan
sifat/warna bagi suatu sekolah, tetapi baru sedikit yang bisa dicapai jika para
staff lainnya tidak termotivasi untuk mendukung perubahan.Dalam pembahasan
tentang manajemen perubahan ini, Fullan (1987) membuat enam pengamatan tentang manajemen kurikulum perubahan di banyak
sekolah.Dia mengamati beberapa pemimpin yang menggunakan argumen tajam dan
mempraktekkan wewenang/kuasa mereka untuk memperkenalkan perubahan.“Overload”
menunjuk pada sebuah situasi dimana pemimpin terlalu berambisi memperkenalkan
banyak proyek secara simultan dalam cara yang tak terkoordinasi. Lebih sering,
banyaknya prioritas yang saling bertentangan menyebabkan kebingungan dan
frustrasi.Di sisi lain, rencana-rencana pelaksanaan yang terlalu rumit bisa
menjadi penghalang proses pelaksanaan aktualnya sendiri. Fullan menamai
fenomena ini “melaksanakan rencana pelaksanaan (implement the implementation
plan).” Dia mengemukakan bahwa ketika mengimplementasikan perubahan, maka
berguna untuk membedakan antara muatan perubahan dengan proses perubahan. Dalam
kasus mengembangkan program bimbingan dan konseling yang komprehensif maka
kerja tim adalah penting karena tidaklah mungkin membuat satu ahli yang berpengetahuan
luas dan kompeten bekerja di semua bidang. Meskipun demikian, terlalu banyak
“ahli” bekerja dalam satu tim bisa menjadi tidak produktif. Ketika para ahli menghabiskan
waktu dan tenaga berargumen tentang muatan perubahan, maka proses perubahan itu
bisa menderita. Fullan menekankan bahwa dalam perubahan yang efektif, kita
perlu mencapai keseimbangan yang bagus antara tekanan dan dukungan.Di sisi
lain, ketika banyak dukungan diberikan tanpa tekanan mencapai perubahan yang
efektif, maka sumber daya yang diberikan bisa kurang digunakan. Mengakhiri
pengamatan ini dengan sebuah catatan positif, Fullan menyimpulkan bahwa
implementasi sukses perubahan selalu membawa pada pembelajaran dari semua pihak
yang terlibat (Fullan, 1987).
Fullan mengingatkan pembacanya bahwa “setiap orang adalah agen perubahan”
dan “masalah adalah teman kita” (Fullan, 1993).Manajemen perubahan tidak boleh
hanya diberikan kepada para ahli.Kontribusi dari para anggota individual juga
penting. Meskipun demikian, kontribusi tersebut tidak akan terwujud jika para
anggota tim tidak termotivasi mencari perubahan. Oleh karena itu, menanamkan iklim
perubahan adalah sebuah langkah penting pertama dalam manajemen perubahan.Ketika
perbaikan/peningkatan diperkenalkan dalam konteks penyelesaian masalah dan para
anggota didorong untuk “memiliki” masalah, mereka bereaksi dengan antuasias
karena mereka bisa menghargai pentingnya perubahan tersebut.Daripada mengadopsi
sebuah pendekatan atas-bawah dengan memberitahu para anggota tim bimbingannya
bahwa “kalian harus berubah dan saya di sini untuk membantu kalian lebih baik,”
kepala bimbingan bisa melibatkan para anggota tim ini melalui suatu ajakan
seperti: “Kita memiliki masalah yang sama di sini. Dengan menyelesaikannya,
kita semua bisa lebih baik.”
Mitchell dan Gysbers (1978) mengidentifikasi satu daftar sepuluh syarat
yang merupakan prasyarat bagi transisi berhasil sebuah proses bimbingan dan
konseling yang komprehensif di sekolah. Dari semua ini, delapan (yang ditulis
di bawah) relevan dengan konteks Singapura.
·
Semua anggota staff terlibat dalam proses
perubahan.
·
Semua anggota staff berkomitmen terhadap
tujuan-tujuan perubahan dan memiliki satu gol bersama.
·
Penyelenggara sekolah berkomitmen mendukung
perubahan.
·
Semua anggota staff melihat program bimbingan
dan konseling yang komprehensif sebagai sebuah fungsi para staff sebagai satu
keseluruhan dan bukan hanya sebuah fungsi eksklusif beberapa staff terpilih.
·
Staff yang terlibat berminat/tertarik dalam
mengembangkan keterampilan-keterampilan baru dan mendapatkan kompetensi.
·
Waktu dan sumber daya disediakan bagi
perkembangan staff.
·
Waktu diberikan untuk merencanakan dan merancang
program bimbingan dan konseling yang sudah direvisi dengan semua kelompok
kepentingan yang berpartisipasi di dalamnya.
·
Para pengembang program lebih merancang transisi
setahap demi setahap daripada sebuah transisi tiba-tiba/mendadak yang
mengabaikan kebutuhan untuk melanjutkan banyak kegiatan dan daya dorong sekarang.
Dengan menekankan pentingnya suatu transisi yang lancar, Mitchell dan
Gysbers mengingatkan kita bahwa perubahan tiba-tiba/mendadak adalah sulit dan
menghasilkan kegelisahan.Ini cenderung menyebabkan para peserta dalam proses
perubahan membangun rintangan (palang/pagar) terhadapnya.
Langkah 2 –
Mereview Program Bimbingan dan Konseling yang Sudah Ada
Keberhasilan implementasi perubahan membutuhkan suatu pemahaman tentang
perbedaan antara apa dan apa yang bisa. Dalam Mereview program bimbingan dan
konseling yang sudah ada, tujuan utamanya adalah melakukan sebuah analisa
menyeluruh terhadap bermacam aspek dalam program yang sudah ada untuk menentukan
apa yang perlu dirubah.
Maksud dan Tujuan Program
Semenjak para
pengguna akhir porgram bimbingan dan konseling adalah para siswa itu sendiri,
maka maksud dan tujuan program perlu dikaji ulang dari sudut pandang kebutuhan
para siswa.Apakah maksud-maksudnya masih relevan dengan bidang pendidikan
kontemporer dan mengidentiifkasi lebih banyak kebutuhan siswa?Apakah terdapat
perlunya memodifikasi gol dan tujuan untuk tetap sesuai dengan
perubahan-perubahan kebijakan yang dibuat oleh para pemegang kekuasaan?Selama
bertahun-tahun, Kementrian Pendidikan telah memperkenalkan bermacam insiatif
dalam usaha lebih meningkatkan sistem pendidikan.Sebagai contohnya, inisiatif
Thinking School, Learning Nation (TSLN) diluncurkan tahun 1997 menekankan penanaman
keterampilan berpikir dalam pengajaran di delan kelas dan memotivasi para siswa
untuk melakukan pembelajaran seumur hidup. Revisi kurikulum Pendidikan Moral
dan Kewarganegaraan yang telah diinisiatifkan satu dekade sebelumnya
merefleksikan perhatian pemerintah terhadap pendidikan moral dan nilai, sebuah
aspek sangat penting bagi sebuah program bimbingan yang komprehensif.Pemerintah
juga telah menghabiskan banyak waktu dan tenaga dalam mempromosikan Pendidikan
Nasional, menekankan negara berbasis pengetahuan ini, dimana warga negara harus
“menjadi global” tetapi “tetap berakar”. Lebih baru lagi, pendidikan seks
diperkenalkan di semua tingkatan (SD, SMP dan SMA) dan signifikansi bimbingan
karir telah menerima perhatian yang baru.
Muatan Program
Penting untuk mencermati
komponen-komponen akademis maupun non-akademis suatu program bimbingan,
misalnya: program Pendikan Afektif dan Karir (ACE), kegiatan-kegiatan bimbingan
karir, program-program pengayaan, kegiatan-kegiatan ko-kurikuler dan ketersediaan
sumber daya konseling. Fokus utama review ini adalah untuk mencari
jawaban-jawaban bagi pertanyaan sangat penting: Apakah program bimbingan dan
konseling dirancang, diimplementasikan dan dimonitor untuk menjamin semua
kebutuhan siswa terpenuhi?
Personel
Bagi manajemen
perubahan yang berhasil, penilaian personel harus lebih daripada menilai
kecukupan tim bimbingan. Ini karena keterlibatan seluruh staff adalah penting
dalam menciptakan suatu lingkungan yang kondusif dan mendukung manajemen
perubahan.Apakah kepala sekolah mendukung bimbingan dan konseling atau hanya
basa-basi? Bagaimana para staff lainnya memandang program bimbingan dan
konseling tersebut? Apakah mereka memiliki komitmen terhadap gol-gol yang sudah
dikemukakan oleh program tersebut?Bagaimana hubungan antara semua anggota di
dalam komunitas sekolah?Apakah terdapat keharmonisan antara para pengajar,
siswa dan penyelenggara sekolah serta para staff yang tidak mengajar?
Mengadvokasikan pendekatan “seluruh sekolah” pada manajemen bimbingan dan
konseling, Kementrian Pendidikan (1994) menekankan bahwa tujuan akhir pastoral
care di sekolah adalah
Asuhan
(bimbingan) untuk dan oleh seluruh karyawan sekolah;
Asuhan
(bimbingan) untuk dan oleh seluruh siswa;
Asuhan
(bimbingan) untuk seluruh bidang kehidupan sekolah.
Sehubungan dengan tim bimbingan, perhatian utama adalah derajat komitmen
mereka dan tingkat kompetensi mereka. Apakah mereka berkomitmen pada maksud dan
tujuan program bimbingan dan konseling?Apakah mereka memiliki keterampilan dan
pengetahuan yang mencukupi untuk melaksanakan peran bimbingan mereka secara
memuaskan? Apakah terdapat para penasihat terlatih dalam tim tersebut untuk
membantu para siswa dengan masalah-masalah sosial dan emosional?
Program Organisasidan Pemberian Program
Aspek penting
lainnya dalam review (peninjauan) adalah untuk mengkaji organisasi dan carapemberian
program bimbingan dan konseling. Kementrian Pendidikan (1997) mengidentifikasi
enam bidang kehidupan sekolah sebagai area/bidang potensial pemberian pastoral care.Pertama adalah filosofi
dan misi sekolah.Apakah mereka sesuai dengan semangat sebenarnya bimbingan
sekolah, yang berfokus pada perkembangan seluruh individu?Bidang kedua
berkaitan dengan pengembangan hubungan di dalam komunitas sekolah dan pembagian
tanggung jawab.Apakah terdapat deskripsi jelas bagi banyak peran?Apakah garis
komunikasi dalam tim bimbingan dan konseling? Apakah para guru terlibat dalam
pengambilan keputusan dan pemecahan/penyelesaian masalah terkait dengan para
siswa yang berada di bawah pengasuhan mereka?Area selanjutnya adalah iklim
sekolah.Apakah sekokah merupakan komunitas yang peduli dimana para anggotanya
saling peduli dan saling memperlihatkan rasa hormat?Area keempat terkait dengan
orangtua dan masyarakat.Berapa persentase majelis orangtua yang terlibat dalam
urusan sekolah?Bagaimana hubungan dengan orangtua dibangun dan dipelihara?Jenis
sumberdaya apa yang tersedia untuk membantu para orangtua dari anak-anak dengan
kebutuhan khusus? Apakah sekolah memiliki garis-garis hubungan yang jelas
dengan lembaga-lembaga bantuan lainnya di masyarakat?Sistem rujukan apakah yang
diberlakukan?Apakah hubungansebelum, selama dan setelah rujukan dibuat?
Integrasi pastoral care
dan bimbingan karir di dalam kurikulum yang sudah ada merupakan area penting
lainnya untuk ditinjau.Apakah kurikulum bimbingan merupakan bagian terpenting
dalam kurikulum sekolah atau benar-benar terpisah darinya?Bagaimana waktu
berhubungan dengan siswa ditentukan?Terkait dengan penegakan disiplin di
sekolah, apakah sistem pemberian penghargaan dan hukuman sesuai dengan filosofi,
maksud dan tujuan program bimbingan dan konseling?Apakah standar-standar etis ditaati
dalam pelaksanaan program tersebut?
Bidang keenam review adalah penilaian siswa, guru dan program sekolah. Apakah
terdapat sistem penilaian yang terbuka dan adil yang diberlakukan?Apakah
informasi yang tepat tersedia sebagai dasar bagi pengambilan keputusan yang
kuat?Apakah akses mendapatkan catatan siswa terbuka bagi semua pihak tanpa berisikan
kerahasiaan?Terdapat beberapa persoalan yang harus dikenali.
Sumberdaya dan Fasilitas
Dalam mereview
sumberdaya dan fasilitas, sebuah pengkajian jumlah waktu yang dialokasikan bagi
bimbingan dan konseling perlu dibuat.Apakah kegiatan bimbingan dan konseling
memiliki tempat sah dalam waktu kurikulum sekolah atau apakah mereka hanya
dilakukan sebagai kegiatan ekstrakurikuler atau “pengisi waktu” setelah ujian
ketika para guru sibuk membuat soal-soal ujian? Disamping melihat bagaimana
waktu digunakan, suatu penilaian tentang penggunaan ruang dan fasilitas sekolah
juga penting.Apakah terdapat ruang-ruang tanya-jawab yang lengkap dengan
perabot yang layak untuk tujuan konseling? Apakah para staff memiliki akses
mudah untuk mendapatkan buku-buku referensi dan materi-materi sumber untuk
membantu mereka melakukan perna-peran mereka? Apakah perkembangan staff
tersedia bagi mereka yang memerlukannya?
Salah satu strategi berguna untuk mereview program dan menentukan
perubahan-perubahan apakah yang dibutuhkan adalah melakukan analisa SWOT untuk
mengidentifikasi “Kelebihan program, Kelemahan yang meminta
perbaikan/peningkatan, Kesempatan yang memfasiltias perubahan dan Ancaman apa
yang bisa menghalangi perubahan.” SWOT merupakan modifikasi analisa perubahan force-field
yang awalnya dikembangkan oleh Lewin pada tahun 1950ab. Teori Force Field Analysis
telah didasarkan pada dalil bahwa suatu situasi perubahan merupakan sebuah
keseimbangan antara dua rangkaian kekuatan – kekuatan (daya)penahan yang
menghambat perubahan dan daya penggerak yang meningkatkan perubahan. Perubahan
bisa diwujudkan dengan cara meningkatkan daya penggerak atau mengurangi daya
hambat tersebut (Lewin, 1951). Delapan langkah yang termasuk dalam praktek SWOT
atau Force Field Analysis.
·
Mengklarifikasi atau mengidentifikasi perubahan
yang akan diwujudkan.
·
Mendefinisikan situasi sekarang dibandingkan
dengan situasi yang diinginkan (kelebihan dan kelemahan).
·
Mengidentifikasi daya penggerak dan daya hambat
(peluang dan ancaman).
·
Mengidentifikasi strategi-strategi untuk
memaksimalkan kelebihan dan mengeksploitasi kesempatan (peluang).
·
Mengidentifiaksi banyak strategi untuk
meminimalisir kelemahan dan menghadapi ancaman.
·
Mengurutkan banyak prioritas.
·
Menentukan sumberdaya yang dibutuhkan.
·
Melaksanakan rencana tindakan.
Langkah 3 –
Merancang Program Bimbingan dan Konseling yang sudah Direvisi
Dikarenakan
banyak kebutuhan sekolah dan populasi siswa mereka sangat beragam, tidak ada
satu program bimbingan dan konseling yang cocok bagi semua.Seperti halnya
banyak perbedaan individual di antara banyak anak, juga terdapat perbedaan
individual antar sekolah (D’Rozario, Jennings & Khoo, 1998).Setiap sekolah
perlu mengidentifikasi “bidang-bidang kebutuhan” unik mereka dan mengembangkan
banyak strategi dan program baru guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan ini.Cukup untuk
mengingat bahwa suatu program yang berhasil meminta rencana yang dibuat dengan
sangat baik yang mengintregrasikan muatan, metode, sumber daya, implementasi
dan evaluasi.Di bawah ini daftaruntuk perencanaan yang efektif yang diadopsi
dari Gysbers (2000).
·
Sumber daya konseling – menentukan berapa banyak
yang dibutuhkan dan menjamin ketersediaannya.
·
Sumber daya lainnya yang mungkin – menentukan
apa yang tersedia.
·
Metode-metode pemberian program yang mungkin –
merencanakan bagaimana melakukannya secara efektif.
·
Deskripsi program – menyatukannya dalam sebuah
rencana.
·
Desain perkembangan staff – memberikan
keterampilan dan pengetahuan seperti yang dibutuhkan.
·
Promosi program – memotivasi para anggota tim
dan memberitahu komunitas sekolah lainnya tentang program tersebut.
·
Evaluasi yang berkelanjutan – terus dan terus
meninjau dan memperbarui.
MEMIMPIN TIM
BIMBINGAN
Karena tidak ada
siapapun yang bisa menjadi ahli dalam semua aspek bimbingan dan konseling, maka
kerja tim sangat krusial bagi implementasi efektif program bimbingan dan
konseling yang komprehensif. Banyak usaha para anggota individu dan tim sebagai
satu kesatuan diminta untuk mengembangkan dan mengimplementasikan keseluruhan
kegiatan yang mencakup bimbingan kelompok perkembangan, pendidikan nilai,
bimbingan karir, pendidikan seks dan konseling perorangan maupun kelompok. Hamblin
(1989) mengingatkan kita bahwa “sebuah tim menyatakan secara implisit
keberadaan kepemimpinan, pembagian tugas, komunikasi dan kerjasama.” Kerja tim
yang bagus tidak terjadi begitu saja; tetapi perlu dikembangkan dan dikelola. Kerja
tim juga harus didasarkan pada suatu pemahaman tentang motivasi para kolega
yang berpartisipasi dalam tim tersebut. Bell dan Maher (1986) mendeskripsikan
kerja tim sebagai situasi dimana “para individu dengan keterampilan, pengalaman
dan tanggung jawab mereka sendiri sebagaimana juga tingkat komitmen, perhatian
personal, tekanan dan pengaruh, bekerja bersama demi tujuan bersama, dibimbing
oleh seorang pemimpin tim yang menerima seluruh tanggung jawab perkembangan
tim, maksud tim dan standar-standar yang ditetapkan serta hasil-hasil yang
dicapainya.” Dalam memimpin sebuah tim bimbingan, tiga aspek paling penting
adalah team building(pembentukan tim), me-manageperan leadership
dan resolusi konflik.
Team Building Yang Efektif
Dengan manajemen
yang seksama, sebuah tim bisa memenuhi maksud dan tujuannya, menyelesaikan
tugas-tugasnya dengan berhasil disamping pengalaman kerja tim memberikan
kepuasan bagi seluruh anggota tim. Bell dan Maher (1986) mengidentifikasi empat
faktor komplementer yang memberikan kontribusi bagi team building yang efektif.
·
Individu
Setiap anggota
membawa ke dalam tim kekuatan dan kebutuhan mereka – kebutuhan untuk terlibat,
kebutuhan akan penghargaan diri, pengakuan dan pertemanan. Pemimpin tim harus
mengidentifikasi banyak kebutuhan ini dan melihat apakah mereka dipenuhi
melalui proses kelompok. Dia juga perlu mengukur tingkat komitmen setiap
anggota tim. Jika para anggota memiliki tingkat komitmen tinggi, mereka lebih
mungkin terlibat dalam tugas-tugas kelompok. Hal ini pada gilirannya akanmenyatukan
dan memperkuat tim tersebut.
·
Tugas
Dalam manajemen
tim yang bagus, pemimpin tim bukan hanya mampu mengidentifikasi, mendefinisikan
dan mengkomunikasikan sifat tugas kepada para anggota tim, tetapi dia juga
memiliki fleksibilitas mendefinisikan ulang banyak tugas dan mendorong timnya
merealokasikan tanggung jawab dan sumber daya ketika dibutuhkan.
·
Tim
Pemimpin timperlu
memelihara integritas tim dengan cara mendorongkan komunikasi dua arah terbuka
dan kerjasama di dalam tim. Ketika ketidaksepakatan muncul, pemimpin tim perlu
mengeskplorasi penyebab-penyebabnya dan mengukur dalam manajemen konflik yang
bersifat membangun.
·
Pemimpin
Harus diakui
bahwa peran leadership (kepemimpinan) bisa berubah dikarenakan sifat
perubahan kegiatan tim. Bermacam kemampuan manajemen diminta dari seorang
pemimpin tim dalam berbagai macam situasi. Dengan demikian, kepemimpinan tim
haruslah fleksibel, berdasarkan pada pemahaman tentang apa yang akan dicapai
dalam suatu situasi khusus. Bagaimana tim mengetahui bahwa mereka telah
dicapai? Johnson & Johnson (2000) mendeskripsikan karakteristik berikut ini
untuk tim yang efektif.
§
Tujuan tim dipahami dengan jelas dan dianut oleh
seluruh anggota tim.
§
Komunikasi di dalam kelompok bersifat terbuka
dan dua arah, dan ekspresi akurat ide dan perasaan ditekankan.
§
Partisipasi dan kepemimpinan didistribusikan di
antara seluruh anggota kelompok. Pencapaian gol, pemeliharaan internal dan
perubahan-perubahan terkait perkembangan ditegaskan.
§
Prosedur-prosedur pengambilan keputusan
disesuaikan dengan tiap situasi. Bermacam metode digunakan pada bermacam hal. Keterlibatan
anggota dan diskusi kelompok didorongkan. Konsesus dicari untuk
keputusan-keputusan penting.
§
Kontroversi dan konflik dipandang sebagai kunci
positif bagi keterlibatan para anggota dan sebuah proses alami perkembangan
tim.
§
Walaupun individualitas disahkan dan aktualisasi
diri didorongkan, efektivitas personal juga ditekankan. Kohesi (kepaduan) didahulukan
melalui tingkat tinggi inklusi, afeksi, penerimaan, dukungan dan rasa percaya.
§
Penyelesaian masalah biasanya merupakan sebuah
proses tim dan sangat efektif.
Me-manage
peran kepemimpinan
Berbagai macam teori telah
dikembangkan terkait dengan manajemen peran kepemimpinan.Berdasarkan penelitian
yang dilakukan di Ohio State University, Hersey dan Blanchard (1977)
mengembangkan teori kepemimpinan situasional. Mereka percaya bahwa peran
kepemimpinan bisa berubah dikarenakan sifat perubahan kegiatan tim.
Hersey dan Blanchard mengklasifikasikan banyak kegiatan para pemimpin tim
menjadi dua dimensi behavioral berbeda – perilaku-perilaku tugas dan
perilaku-perilaku hubungan. Perilaku-perilaku tugas biasa meliputi pemimpin tim
memberikan instruksi-instruksi melalui komunikasi satu-arah, semacam pendekatan
atas-bawah. Perilaku-perilaku hubungan terjadi ketika pemimpin terlibat dalam
komunikasi dua arah dan memberikan dukungan emosional untuk memfasilitasi para
anggota tim. Walaupun beberapa pemimpin berfokus hanya pada perilaku-perilaku
tugas, banyak lainnya berkonsentrasi pada menyediakan dukungan emosional
melalui pengembangan hubungan.Lebih sering daripada tidak, para pemimpin
terlibat dalam kedua pendekatan tersebut, tergantung pada situasinya.
Mengembangkan teori kepemimpinan situasional, Hamblin (1989) mengemukakan bahwa
seorang pemimpin tim bisa memilih salah satu dari empat gaya kepemimpinan.
·
Memberitahu (Telling)
Gaya ini memberikan tingginya pengarahan dan dukungan yang rendah.
Mungkin perlu mengadopsi pendekatan ini ketika para anggota tim kurang memiliki
niat, kurang memiliki pengetahuan dan keterampilan dan hanya memiliki sedikit
kepercayaan diri dalam melaksanakan tanggung jawab.
·
Mengajari (teaching)
Gaya ini memberikan pengarahan tinggi dan dukungan tinggi.Gaya ini
ditemukan berguna ketika para anggota tim tidak mampu dan tidak memiliki kemauan
dan membutuhkan instruksi-instruksi khusus dan pengawasan seksama supaya
menyelesaikan tugas mereka.
·
Mendukung (supporting)
Gaya ini dikarakterisasikan dengan rendahnya pengarahan dan tingginya
dukungan. Gaya ini diindikasikan ketika para anggota timmampu dan memiliki niat
tetapi kurang memiliki kepercayaan diri. Mereka bisa mencapai lebih banyak
ketika pemimpin memperlihatkan minat/ketertarikan dan memberikan dukungan.
·
Mendelegasikan (delegating)
Gaya ini memberikan hanya sedikit pengarahan dan dukungan rendah karena
para anggota tim diberikan otonomi untuk mengatur tugas-tugasnya sendiri. Pendekatan
ini tepat ketika para anggota tim adalah kompeten, berkemauan dan memiliki
kepercayaan diri.
Gaya kepemimpinan lainnya yang tepat untuk memimpin sebuah tim bimbingan
dan konseling adalah “servant leadership”, sebuah ide yang pertama kali muncul
pada tahun 1070an tetapi telah tumbuh
menjadi teori yang sangat berpengaruh dalam bidang manajemen beberapa tahun
terakhir ini. Menurut Greenleaf, yang pertama kali mengembangkan konsep servant
leadership, kepemimpinan sejati muncul dari mereka dimana motivasi utama
mereka adalah keinginan mendalam untuk melayani dan membantu orang lain. Jadi
Para individu menjadi pemimpin bukan karena posisi, wewenang atau
ciri/sifat.Mereka dipilih dan diterima sebagai pemimpin karena mereka sudah
terbukti dan terpercaya sebagai servant (abdi/pelayan).Filosofi di
belakang konsep kepemimpinan ini sangat sesuai dengan landasan-landasan teoritis bimbingan dan konseling –
untuk memberdayakan orang yang anda layani dan membantu mereka mencapai
aktualisasi diri.
Greenleaf (1998)
mendeskripsikan 10 karakteristik servant-leader sebagai berikut:
·
Mendengarkan
Servant-leader berusaha mengidentfikasi keinginan kelompok dan
membantu mengklarifikasi kemauan tersebut. Dia melakukannya dengan cara
mendengarkan para anggota tim secara seksama dan merefleksikan ide-ide dan
perasaan-perasaan yang diekspresikan.
·
Empati
Servant-leaderberusaha memahami dan berempati pada para anggota
timnya.
·
Menyembuhkan
Salah satu kelebihan servant leadershipadalah potensi menyembuhkan
diri sendiri dan juga orang lain. Servant-leader ini mengasuh dan
memberdayakan para anggota timnya dan membantu membuat “utuh” mereka yang
berhubungan dengannya.Greenleaf (1970) percaya bahwa ujian terbaik bagi servantleadershipadalah
apakah orang-orang yang mereka layani tumbuh menjadi lebih sehat, lebih bijak,
lebih bebas, lebih memiliki otonomi dan lebih mungkin juga menjadi servant.
·
Kesadaran
Kesadaran umum, khususnya kesadaran diri, memperkuat servant-leader.Dengan
mengetahui kelebihandan kelemahan diri mereka maka memungkinkan servant-leader melayani orang lain
dengan lebih baik.
·
Persuasi
Servant-leaderbergantung pada persuasi untuk memotivasi para
anggota timnya daripada pada koersi atau manipulasi berdasarkan wewenang
posisinya.
·
Konseptualisasi
Servant-leader mengasuh para anggota timnya kemampuan untuk
“bermimpi tentang mimpi-mimpi besar”.Dia juga memiliki kemampuan melihat suatu
masalah dari sebuah perspektif konseptualisasi, melihat di luar kenyataan
sehari-hari.
·
Tinjauan ke masa depan
Menurut Greenleaf, tinjauan ke masa depan membantu membantu servant-leader
untuk memahami banyak pelajaran dari masa lalu, kenyataan-kenyataan di masa
sekarang dan kemungkinan konsekuensi suatu keputusan di masa mendatang.
· Stewardship
(pekerjaan mengurus)
Servant leadership, seperti stewardship, mengasumsikan
sebuah komitmen paling utama pada melayani kebutuhan-kebutuhan orang lain.
Seperti Greenleaf sendiri mengemukakannya, “seorang servant-leaderpertama-tama
harus menjadi pelayan.Ini dimulai dengan perasaan alami bahwa seseorang ingin
melayani.Kemudian pilihan secara sadar membawa seseorang terinspirasi untuk
memimpin” (Greenleaf, 1970).
·
Komitmen
Servant-leaderpercaya bahwa banyak orang memiliki sebuah nilai
intrinsik di luar kontribusi-kontribusi nyata mereka dalam peran-peran apapun
yang diberikan/ditugaskan kepada mereka (pelajar, guru, dll).Karena itu, dia
sangat berkomitmen pada pertumbuhan setiap dan masing-masing individu dalam
timnya.Dia melakukan segalanya dengan kekuasaannya untuk mengasuh pertumbuhan
personal dan profesional rekan-rekan kerjanya.
·
Membangun Masyarakat
Servant-leaderberusaha membangun suatu masyarakat yang peduli, menanmkan
kepada para rekan kerjanya dalam rasa/kesadaran memiliki dan dimiliki.Konsep
ini merupakan kerabat pendekatan “whole school (sekolah sebagai satu kesatuan)”
untuk bimbingan dan konseling dengan sebuah penekanan pada mengembangkan suatu
komunitas/masyarakat yang peduling di sekolah.
Mengatasi
Penolakan dan Resulosi Konflik
Dalam memimpin
tim bimbingan, tak bisa dihindarkan bahwa terkadang pemimpin akan menemui
banyak masalah. Masalah tersebut bisa terkait dengan dinamika kelompok, ketika
para anggota kelompok bertindak lambat dengan alasan untuk menghindari dan
menolak perubahan.Penolakan tersebut bisa realistik ataupun tidak realistis.Yang
pertama didasarkan pada kesulitan-kesulitan yang ada, yang kedua berdasarkan
pada banyak ketegangan dan kesulitan-kesulitan yang diduga.Seorang pemimpin
yang efektif akan berusaha memahami penolakan para anggota timnya dengan cara
menanyakan kepada dirinya sendiri pertanyaan-pertanyaan berikut ini:
·
Apakah perilaku ini merupakan hasil kurangnya
pengetahuan?
·
Apakah ini kesalahpahaman tentang dasar
pemikiran perubahan-perubahan yang diusulkan tersebut?
·
Apakah respon biasa/negatifdari seorang anggota yang
tak terlibat tentang hampir segala hal?
Terkadang,
penolakan tersebut merupakan sebuah reaksi dikarenakan perasaan tidak aman
ketika individu merasa terancam atau tidak merasa mampu menghadapi tugas-tugas
baru.Terkadang juga, “permainan-permainan” dimainkan, misalnya ketika individu
nampak kooperatif tetapi bersifat menangguh-nagguhkan dengan alasan-alasan
“yang bagus”.Hanya ketika pemimpin tim memahami alasan-alasansebenarnya di
balik penolakan tersebut maka masalah tersebut bisa ditangani dengan tepat.
Bell dan Maher (1986) mengemukakan bahwa “penolakan terhadap perubahan
bisa diperkecil, tetapi tidak pernah bisa dihapuskan, dengan cara keterlibatan,
komunikasi, kesadaran dan sifat proses perubahan itu sendiri.” Dengan melibatkan seluruh individu yang
terpengaruh oleh perubahan akan memberi mereka sebuah dasar pemahaman apa yang
sedang terjadi dan kesempatan untuk mempengaruhi perubahan tersebut. Kesadaran
keterlibatan ini akan menghasilkan pada diri mereka suatu rasa kepemilikan, dan
sesudah itu sebuah komitmen kuat terhadap perubahan tersebut. Keterlibatan juga
menciptakan suata kesadaran akan masalah, kesempatan dan intensi terkait dengan
perubahan tersebut. Ketika orang-orang tahu kenapa sebuah perubahan diperkenalkan
dan manfaat apa yang mungkin dihasilkannya, mereka menjadi kurang bersikap
menolak perubahan tersebut.
Tantangan lainnya yang dihadapi pemimpin tim adalah resolusi konflik
(penyelesaian konflik). Karena bermacam anggota kelompok bisa memiliki bermacam
kebutuhan, minat, nilai dan gol personal, perbedaan-perbedaan ini bisa
menyebabkan konflik di dalam tim (Baron & Paulus, 1991). Banyak konflik
tidak selalu bisa dihindari tetapi mereka bisa diselesaikan dalam sebuah cara
membangun. Langkah pertama adalah membantu para anggota menjadi sadar akan
adanya konflik. Ini bisa dilakukan dalam sebuah cara yang tidak bersifat
mengancam. Daripada mempresentasikan konflik sebagai pandangan-pandangan yang
berlawanan, tetapi lebih membantu pihak-pihak terkait melihat konflik sebagai
masalah bersama yang harus dipecahkan, bukan sebagai pertempuran menang-kalah
yang harus dimenangkan.Mendorong keduabelah pihak untuk memverbalkan
perasaan-perasaan mereka, menyuarakan pandangan-pandangan mereka dan saling
mendengarkan.
Johnson dan Johnson (1971) mengemukakan bahwa dalam manajemen konflik, penggunaan
cakap pembalikan peran bisa membantu meningkatkan perilaku kooperatif di antara
dua pihak yang berlawanan, mengklarifikasi kesalahpahaman dan meningkatkan
pemahaman tentang posisi masing-masing. Setelah pihak-pihak yang bertentangan
siap mengkomunikasikan maksud-maksud kooperatif dan menjadi lebih berkemauan
berusaha saling melihat perspektif masing-masing, pemimpin kemudian bisa mendaftar
(mendapat) bantuan mereka dalam mendefinisikan masalah dan brainstorming
ide-ide untuk menyelesaikan konflik tersebut, memilih solusi terbaik,
mengimplementasikannya dan mengevaluasi efektivitasnya. Jika pemimpin berhasil
dalam melibatkan pihak-pihak yang bertentangan dalam pemecahan masalah bersama,
dia akan harus merubah konflik menang-kalah menjadi win-win solution.
EVALUASI PROGRAM
BIMBINGAN DAN KONSELING DI SEKOLAH-SEKOLAH
Tujuan
Evaluasi
Supaya manajemen
bimbingan dan konseling yang efektif, evalusai harus menjadi bagian penting
dalam proses implementasi. Apakah tujuan evaluasi? Evaluasi program bimbingan
dan konseling merupakan bagian dari proses akuntabilitas sekolah kepada para stakeholdernya,
dalam hal ini, para siswa, keluarga mereka dan publik. Evaluasi juga bisa
menjadi bagian proses organisasional sekolah untuk mendapatkan feedback(umpan
balik) tentang prestasi/kinerjanya dengan tujuan lebih meningkatkannya.Asumsinya
adalah bahwa evaluasi formatif maupun sumatif bisa memberikan feedback untuk
lebih memperbaiki dan meningkatkan efektivitas program tersebut.
Terdapat lebih dari satu sumber darimana feedback bisa
diperoleh.Feedback bisa diperoleh dari pengguna akhir program bimbingan dan
konseling, siswa sendiri dan orangtua mereka.Feedback juga bisa diperoleh dari
evaluasi diri para pemberi layanan tersebut – para anggota tim bimbingan.
Kadang, adalah tepat untuk memiliki pihak ketiga obyektif seperti seorang
evaluator eksternal untuk mengevaluasi program tersebut dan memberikan feedback.Lebih
sering daripada tidak, sebuah kombinasi ketiga pendekatan ini digunakan.
Pendekatan
Evaluasi
Biasanya
tiga pendekatan digunakan dalam evaluasi program.
·
Model
Obyektif
Model ini dimulai dengan merumuskan tujuan umum dan tujuan khusus yang
diharapkan dicapai program tersebut.Evaluasi dilakukan dengan cara mengukur
hasil yang dibandingkan dengan tujuan-tujuan ini. Oleh karena itu, bersifat
retrospektif dan sumatif.Pendekatan ini memiliki keterbatasan. Pertama,
menempatkan evaluasi di bagian akhir yang sering berarti terlalu terlambat untuk
mempengaruhi apa yang telah terjadi. Kedua, pendekatan tersebut mengasumsikan
bahwa tujuan bisa dikemukakan dalam bentuk-bentuk yang bisa diamati dan diukur.Dalam
kenyataannya, hasil-hasil dari program bimbingan dan konseling tidak selalu
bisa dilihat dan bisa diukur, misalnya: perubahan perilaku dan pemerolehan
nilai moral baru. Ketiga, pendekatan dalam evaluasi ini mengasumsikan tujuan
program bimbingan dan konseling yang mungkin perlu dimodifikasi dari waktu ke
waktu dikarenakan kebutuhan para pemakai akhirnya yang juga berubah dari waktu
ke waktu.
·
Model
Proses
Dalam pendekatan ini, evaluasi berfokus pada proses implementasi program,
menyoroti apa yang sedang terjadi di banyak situasi pembelajaran dan proses
memberikan bantuan. Dengan kata lain, evaluasi sendiri adalah sebuah proses
yang berkelanjutan dan iluminatif. Satu kelemahan pendekatan ini adalah interpretasi proses bisa menjadi
subyektif. Kekurangan lainnya adalah hasil-hasilnya bisa diabaikan ketiak
evaluasinya berfokus hanya pada proses.
·
Model Riset dan Pengembangan
Dalam model ini, pengembangan program meliputi penelitian tindakan yang
pada gilirannya memberikan informasi, meningkatkan dan melakukan inovasi
perkembangan dan kemajuan proses.Ketika dikembangkan, program bimbingan dan
konseling juga diuji, direvisi dan diadaptasi selama implementasi.Evaluasi ini
bersifat berkelanjutan, prospektif dan formatif, dan didukung oleh komitmen
terhadap penyaringan terus-menerus pekerjaan/tugas yang dilakukan.Sama seperti
halnya dengan model proses, berfokus pada proses implementasibisa memberikan
hasil-hasil yang terlalu mengabaikan. Beberapa pendidik juga keberatan
menggunakan model R&D (Research
and Development) pada dasar bahwa salah untuk bereksperimen dengan kesejahteraan
murid.
Walaupun terdapat
kekurangan dari ketiga model tersebut, mereka semua memiliki tempat dalam
evaluasi banyak program bimbingan dan konseling yang meminta beberapa evaluasi sumatif (apakah
target-target kita tercapai?), beberapa evaluasi iluminatif (proses-proses apa
yang sedang berlangsung di dalam ruang kelas kita?) dan juga evaluasi formatif
(bagaimana kita harus merubah apa yang harus kita lakukan dari sudut pandang
apa yang sedang terjadi sekarang?).
Aspek-Aspek Apakah dalam Bimbingan dan
Konseling yang Harus Dievaluasi?
Pertimbangan
penting selanjutnya adalah aspek-aspek manakah dalam program bimbingan dan
konseling yang harus dievaluasi.McGuiness (1980, 1989) mengidentifikasi lima
bidang luas yang harus menjadi fokus evaluasi.
·
Dalam bidang kurikulum,evaluasi bisa berfokus
pada derajat integrasi antara kurikulum BK dengan kurikulum akademik. Apakah
program BK berintegrasi dengan kurikulum lebih luas?
·
Berfokus pada para siswa per individu,
perhatiannya adalah bagaimana data tentang siswa dikumpulkan dan digunakan. Apakah
sistem pencatatan tersebut diorganisir dengan baik dan ditinjau secara
sistematis?
·
Terkait dengan staff, penting untuk menilai
sikap mereka terhadap program BK, deskripsi dan distribusi tanggung jawab,
kompetensi dan keterampilan serta ketersediaan pelatihan mereka.
·
Terkait partisipasi orangtua, terdapat kebutuhan
mengevaluasi tingkat dimana orangtua bisa ikut serta dalam program BK di
sekolah dan seberapa efektif sekolah dalam menjangkau mereka.
·
Dalam bidang kolaborasi dengan lembaga-lembaga
di luar sekolah, fokus evaluasi bisa menjadi pada memastikan serangkaian
sumberdaya yang tersedia dan apakah sekolah harus membuat usaha-usaha yang
tepat untuk menyadap sumberdaya tersebut dalam usaha bersama guna melayani para
siswa dan keluarga mereka
McGuiness menekankan bahwa informasi yang dikumpulkan tentang lima bidang
ini akan memberikan wawasan berguna tentang kelebihan dan kelemahan program BK,
sehingga sebuah rencana tindakan bisa dikembangkan dan diimplementasikan.
Sebagai salah satu maksud dasar bimbingan sekolah adalah untuk menciptakan
komunitas sekolah yang peduli dimana semua anggotanya merasa
“diperhatikan/dipedulikan” dan “dinilai/dihargai”, mungkin satu lainnya adalah
mengevaluasi iklim emosional di sekolah atau etos sekolah. Tetapi apa yang kita
evaluasi dengan tujuan menemukan apakah etos-etos sekolah memungkinkan setiap
orang merasa aman? Kegiatan-kegiatan apa yang perlu dievaluasi untuk menentukan
seberapa efektif suatu sekolah mengembangkan para siswanya? Jika model obyektif
lebih disukai, banyak sekolah bisa memiliki untuk mengevaluasi hasil-hasil
kognitif pendidikan sekolah seperti prestasi ujian, masuk ke pendidikan lebih
tinggi atau langsung bekerja dan masuk ke dalam pasar kerja.Sekolah juga bisa
mengukur hasil-hasil non-kognitif seperti rasa penghargaan diri para siswa, lazimnya
(meratanya) tingkat membolos dan vandalisme dan derajat keterlibatan siswa
dalam pelayanan masyarakat.
Jika model proses adalah pendekatan yang lebih disukai, sekolah bisa
memilih meneliti banyak pengalaman dimana para siswa diekspos melalui usaha BK.
Mereka mungkin ingin mengetahui apa yang dirasakan para siswa ketika mereka
berpartisipasi dalam bermacam kegiatan bimbingan kelompok dan apa yang mereka
rasakan/pahami dari hubungan guru-murid dan hubungan murid-dengan-murid. Mereka
juga menilai bagaimana pencatatan dan pelaporan dilakukan dan bagaimana hubungan
rumah-sekolah di-manage. Banyak sekolah mungkin memilih mengkaji apa
yang diistilah Hamblin (1978) sebagai “critical incidents” seperti program pelantikan
siswa baru, menugaskan pekerjaan sekolah atau pekerjaan rumah, penggunaan
prosedur-prosedur rujukan dan disipliner, persiapan ujian, memberikan latihan
atau bahkan peristiwa-peristiwa khusus terkait penindasan dan tekanan dari
teman.Terakhir, alokasi waktu staff dan keuangan bagi program BK merefleksikan
pengakuan dan dukungan yang diberikan bagi pendidikan afektif di sekolah
(Bulman & Jenkins, 1988).
Siapakah yang
Harus Melakukan Evaluasi?
Beberapa penulis
dalam bidang ini melihat evaluasi program sebagai fungsi para prefesional
spesialis yang mampu mengkaji banyak isu/persoalan dengan sifat tidak memihak mereka
yang berada di luar organisasi.Meskipun demikian, dalam beberapa tahun
terakhir, penekanan ini telah bergeser pada evaluasi internal atau evaluasi
berbasis sekolah yang dilakukan oleh para anggota staff pengajar.Para guru
berada dalam posisi yang diuntungkan untuk melakukan evaluasi, khususnya demi
tujuan memberikan feedback dan lebih meningkatkan efektivitas individual dan
organisasional. Dalam contoh pertama, guru mungkin mengidentifikasi lebih
dekat/seksama dengan cara evaluasi jika ini dilakukan oleh para kolega dan
melihatnya kurang mengancam otonomi profesional mereka. Sejak tujuan evaluasi
adalah untuk memberikan feedback guna lebih meningkatkan praktek dan ketetapan program
BK, maka guru yang terlibat dalam proses tersebut harus mengangkat penerimaan
lebih besar perlunya dilakukan tindakan. Pendekatan lainnya adalah campuran
evaluator internal dan eksternal untuk menemukan sebuah keseimbangan antara
obyektivitas dan subyektivitas.
Bagaimana
Evaluasi Seharusnya Dilakukan?
Biasanya, siklus
evaluasi program meliputi beberapa langkah berikut ini, yang juga diilustrasikand
alam Figure 9.1.
·
Initiation
(Inisiasi)
Langkah ini meliputi klarifikasi tujuan evaluasi dan identifikasi banyak
persoalan yang akan dikaji dan dinilai.
·
Planning
(Perencanaan)
Perencanaan meliputi penunjukan sebuah tim evaluasi sebagaimana juga
desain dan pemilihan teknik-teknik evaluasi.
·
Enquiring
(penyelidikan)
Langkah ini meliputi pengumpulan data dan analisa data yang sudah
dikumpulkan tersebut.
·
Pelaporan
Setelah menganalisa data, penemuan-penemuannya disusun dalam sebuah
laporan yang harus disajikan secara verbal atau dalam bentuk tertulis.
·
Tindakan
Sebagai gol utama evaluasi adalah untuk mendapatkan feedback guna lebih
meningkatkan praktek, maka langkah logis selanjutnya adalah mengambil
tindakan-tindakan yang tepat berdasarkan penemuan-penemuan di atas untuk memperbaiki
kesalahan-kesalahan yang telah dibuat dan untuk meningkatkan aspek-aspek
positif program bimbingan dan konseling.
·
Review
Untuk melengkapi siklus evaluasi, para anggota tim harus berefleksi pada
praktek-praktek baru dan membuat revisi ketika dan jika diperlukan.
Clement dan Pearce (1986) menekankan bahwa supaya evaluasi bisa diterima
oleh semua pihak terkait, maka harus dilakukan dalam atmosfer kepercayaan dan
kerjasama profesional, dikarakterisasikan oleh fleksibilitas pendekatan dan
perhatian tentang pengaruh-pengaruhnya bagi para peserta.Evaluasi harus
dipresentasikan sebagai bagian proses normal organisasi sekolah dan dipandang
sebagai suatu kegiatan dalam kepentingan sekolah dan komunitasnya.Perhatian
harus diberikan untuk menjamin bahwa teknik-teknik pengumpulan data adalah
wajar, komprehensif dan valid.Terakhir, untuk mendapatkan manfaat penuh dari
praktek evaluasi, penemuan-penemuan dan hasil-hasilnya harus dipresentasikan
dalam sebuah cara yang bisa dipahami dan bisa dikomunikasikan kepada komunitas
sekolah.
KESIMPULAN
Pengembangan
program bimbingan dan konseling di sekolah-sekolah di Singapura telah membuat
kemajuan luar biasa dalam rentang jangka pendek 15 tahun. Ini dimulai pada
tahun 1988 ketika Kementrian Pendidikan mengundang 17 sekolah menengah pertama
untuk ambil bagian dalam proyek rintisan guna merencanakan dan
mengimplementasikan program-program Pastoral Care and Career Guidance (PCCG).
Pada tahun 1998, semua sekolah telah memiliki beberapa bentuk program bimbingan
dan konseling yang diberlakukan walaupun dalam beberapa contoh, banyak kegiatan
ini masih dipandang sebagai kegiatan ekstrakurikuler yang harus dilaksanakan di
luar waktu kurikulum.Seputar waktu inilah bahwa perjanjian resmi Kepala
Pastoral Care and Career Guidance (PCCG) telah diperkenalkan kepada semua
sekolah.Ini adalah sebuah gerakan signifikan, sebuah tanda bahwa pihak
berwenang memberikan pengakuan resmi bagi pentingnya pendidikan afektif.Bimbingan
dan konseling pada akhirnya mendapatkan sebuah tempat sah dalam kurikulum
sekolah dan banyak kepala departemen ditunjuk untuk menginisiatifkan dan
mengawasi implementasi kegiatan-kegiatan bimbingan dan konseling di banyak
sekolah.Bab ini, mencakup perencanaan, implementasi dan evaluasi
program-program bimbingan dan konseling, diharapkan bisa menjadi sebuah
referensi bermanfaat dan mudah bagi semua guru yang mengampu posisi-posisi
kepemimpinan dalam bimbingan dan konseling di banyak sekolah.
Daftar Bacaan:
Bahan Kuliah Bimbingan Konseling